Proses Taaruf Dalam Islam

Berdasarkan penjelasan Khazanah Islam, ta'aruf biasanya dilakukan pada tahap awal antar calon pasangan sebelum melangkah ke proses khitbah (lamaran) dan pernikahan, dan bentuk-bentuk ta'aruf ini bisa bermacam-macam, ada yang dimulai dengan saling menukarkan biodata diri, ada pula yang dikenalkan oleh teman atau saudara (sepupu).

Kemudian setelah ta'aruf, kedua belah pihak  akan menentukan pertemuan secara langsung untuk nazhor atau melihat satu sama lain, namun tentunya hal ini dilakukan bersama-sama / didampingi oleh mahram dari masing-masing calon pasangan, baik dari pihak laki-laki maupun perempuan agar tidak terjadi khalwat (berduaan).

Akan tetapi jika dilihat dari hadits-hadits shahih yang ada, para sahabat tidak pernah melakukan praktek ta'aruf jika ingin menikah, melainkan mereka langsung melakukan nazhor atau melihat sang wanita (calon pasangan) yang ingin dinikahi.

Asal usul praktek ta'aruf

Kisah Nyata Batal Menikah Setelah Lamaran Diterima

Secara umum dalam Al-Qur'an (firman Allah) memang menyebutkan dalam surat Al-Hujurat (surah ke 49) ayat 13, bahwasanya manusia diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan untuk saling mengenal. Akan tetapi proses ta'aruf dalam konteks pra nikah merupakan proses baru.

Praktek ta'aruf muncul akibat maraknya praktek pacaran di masyarakat. Oleh karena itu, ta'aruf dijadikan sebagai solusi untuk saling berkenalan antar masing-masing pihak yang sama-sama ingin membangun rumah tangga (menikah) tanpa pacaran yang sebagaimana telah kita ketahui bahwasanya pacaran itu merupakan salah satu bentuk perbuatan maksiat (dosa).

Ulama klasik pun tidak mengenal praktek ta'aruf atau perkenalan pra nikah ini, karena sekali lagi di zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pun para sahabat tidak melalukannya. Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam malah menyuruh sahabat untuk langsung melakukan nazhor atau melihat wanita yang ingin dinikahi.

Cara mencari pasangan hidup berdasarkan hadits shahih

Dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh imam Ahmad menjelaskan bahwasanya: "Apabila salah seorang dari kalian melamar kepada seorang wanita, jika ia bisa melihat apa yang membuatnya tertarik menikahinya maka lakukanlah."

Diceritakan juga oleh Al Mughirah (merupakan salah seorang sahabat Nabi) ketika ia hendak menikahi seorang wanita, maka Nabi Muhammad shallahu 'alaihi wasallam berkata kepadanya, "Lihat dulu calon istrimu karena itu akan membuat kalian saling mencintai." (Hadits riwayat imam Ahmad dan imam Tirmidzi).

Dari hadits-hadits tersebut, melakukan nazhor memang disyariatkan dalam agama Islam. Mayoritas ulama menghukuminya sunnah dan ada sebagian lainnya yang berpendapat boleh atau mubah.

Jika Nabi dan para sahabatnya dan juga para generasi terbaik Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak melakukan ta'aruf dan hanya melakukan nazhor saja, lalu apa batasan yang boleh dilihat dari seorang wanita?

Para ulama berselisih pendapat tentang batasan mana yang boleh dilihat oleh calon suami terhadap calon istrinya. Jumhur (kebanyakan) ulama berpendapat yang boleh dilihat adalah wajah dan kedua telapak tangan, artinya yang boleh dilihat adalah bagian tubuh yang selain aurat (bagian yang memang boleh diperlihatkan).

Selain itu, menurut pendapat tersebut boleh melihat wajah wanita adalah untuk menilai kecantikannya, sebab wanita dinikahi salah satunya karena kecantikannya. Sedangkan melihat telapak tangan tujuannya adalah untuk melihat kesuburannya.

Sementara itu, mazhab Hanafi membolehkan melihat kedua telapak kaki, dari batas mata kaki hingga tumit, karena pada mazhab ini bagian tersebut bukanlah aurat.

Sebagian ulama hambali justru membolehkan melihat anggota tubuh dari calon istri yang biasa nampak dan biasa terlihat dalam kesehariannya ketika sedang bersama mahramnya, seperti wajah, kepala, leher, tangan dan betis.

Tapi seperti yang disepakati oleh para mayoritas ulama, pihak wanita tidak boleh menampakkan bagian tubuhnya kepada laki-laki yang ingin menikahinya, kecuali bagian yang bukan aurat, yakni wajah dan kedua telapak tangan, karena bagaimana pun status sang lelaki masih ajnabi, alias orang asing.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Dan janganlah mereka (perempuan) menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya." (Al-Qur'an surah An-Nur (surah ke-24) : 31).

Selain membolehkan melihat sisi fisik, kebersihan calon istri juga menjadi perhatian, terutama dihadapan suaminya kelak. Karena banyak wanita yang bersolek (dandan/menghias diri) sebelum keluar rumah, tetapi tidak peduli dengan kebersihan dirinya selama di rumah, padahal suaminya di rumah lebih berhak atas kecantikan dan kebersihannya.

Anas radhiyallahu 'anhu menuturkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengutus Ummu Sulaim (salah seorang sahabat wanita) untuk melihat seorang wanita yang hendak beliau shallallahu 'alaihi wasallam nikahi. Nabi berpesan kepada Ummu Sulaim, "Ciumlah bau giginya dan lihatlah betisnya." (Hadits riwayat imam Ahmad).

Hadits tersebut menunjukkan kepedulian dan perhatian dari Nabi terhadap kebersihan calon istri, maka dari itu Nabi menyuruh Ummu Sulaim untuk memeriksa bau mulut dari wanita tersebut. Dengan kata lain, perintah tersebut menyiratkan seorang wanita dianjurkan untuk selalu menjaga kebersihan dirinya dihadapan suami, karena suami memang berhak akan hal itu.

Batasan (jumlah) yang diperbolehkan dalam melakukan nadzor atau melihat wanita yang ingin dinikahi

Proses nazhor boleh dilakukan lebih dari sekali apabila sang lelaki belum mantap dengan nazhor yang pertama. Namun yang perlu diwaspadai adalah bahwa nazhor tidak boleh dilakukan dengan niat sekedar untuk main-main. Sang pria harus mempunyai tekad yang kuat untuk menikahi wanita tersebut.

Selain itu, nazhor hanya dilakukan apabila si lelaki mempunyai prasangka kuat bahwa lamarannya akan diterima. Jika tidak, maka tidak dianjurkan melakukan nazhor untuk kedua kalinya.

Mayoritas ulama juga memperbolehkan melakukan nazhor tanpa sepengetahuan sang wanita selama aman dari dampak buruk (tidak menimbulkan keburukan). Hal ini tentunya didasari oleh sabda Nabi Muhammad Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, "Apabila salah seorang di antara kalian ingin meminang seorang wanita maka tidak ada dosa baginya melihat sang wanita jika memang tujuan melihatnya adalah untuk meminangnya walaupun sang wanita tidak mengetahui bahwa dirinya sedang dilihat." (Hadits riwayat imam Ahmad dan imam Thabrani).

Akan tetapi imam Malik dalam suatu riwayat menyatakan, "Aku tidak menyukai bila si wanita dilihat dalam keadaan ia tidak tahu, karena khawatir pandangan si lelaki pada wanita itu terarah kepada aurat.".

Maka dari itu, meskipun melihat wanita yang ingin dinikahi boleh dilakukan lebih dari sekali, baik dengan atau tanpa sepengetahuan sang wanita, laki-laki harus tetap mengacu pada batasan yang boleh dilihat dari wanita tersebut.

Bisa juga dengan mengutus ibu atau saudarinya untuk mencari tahu lebih detail (lebih rinci) mengenai wanita yang ingin dinikahinya tersebut.

Solusi apabila setelah melakukan nazhor dan kedua belah pihak mantap untuk menikah, tapi ternyata salah satunya memiliki penyakit yang bisa membahayakan pasangannya beserta keturunannya, seperti mempunyai penyakit menular dan menurun

Jika penyakit tersebut telah diketahui oleh salah satu dari calon pasangan yang sehat dan kemudian ia merelakannya (menerima hal itu), maka mereka boleh melanjutkan pernikahan. Pihak yang sehat tidak boleh melakukan fasakh atau membatalkan pernikahannya di kemudian hari dengan alasan penyakit tersebut, karena dalam kaidah fiqih disebutkan bahwa rido akan sesuatu berarti rido atas dampak yang akan ditimbulkannya.

Tetapi apabila pihak yang sehat tidak menerima pernikahan tersebut, maka pernikahan tersebut tidak boleh dilanjutkan. Jika dipaksa untuk dilanjutkan pun, maka pernikahannya haram.

Syeikh Wahbah Az-Zuhaili (salah seorang alim ulama kontemporer) menjelaskan, "Apabila laki-laki yang akan menikahi yakin bahwa pernikahannya akan mendzolimi dan membahayakan perempuan yang akan dinikahinya, maka hukum pernikahannya adalah haram."

Apabila salah satu pasangan baru mengetahuinya setelah pernikahan, maka berlaku hukum khiyar atau pilihan baginya. Artinya pihak yang sehat punya pilihan mempertahankan pernikahan atau membatalkannya saat itu juga.

Imam Syafi'i menyatakan, "Tidak ada khiyar atau pilihan untuk membatalkan pernikahan kecuali dalam empat hal: (1.) Penyakit levra, (2.) Penyakit kusta, (3.) Gila dan (4.) Penyakit kemaluan yang menghalangi hubungan suami istri."

Beliau juga menuturkan, "Jika suami mengetahui aib atau penyakit istrinya sebelum berhubungan suami istri, maka dia (suami) berhak memilih, jika mau sang suami bisa memilih untuk membatalkan pernikahannya saat itu juga atau fasakh, dan tidak ada mahar bagi sang istri, karena belum berhubungan suami istri. Jika pembatalan terjadi setelah hubungan suami istri, maka istri berhak mendapatkan mahar. Tetapi jika suami memilih mempertahankan istrinya setelah mengetahui aib dan penyakitnya atau tetap menikahinya padahal dia (calon suami) mengetahui aibnya, maka tidak ada khiyar atau pilihan baginya."

Catatan

Berdasarkan ulasan pembahasan di atas, kamu bisa melakukan ta'aruf untuk menghindari pacaran dan semacamnya dalam proses pencarian pasangan hidup (jodoh), asal tidak melanggar aturan yang telah disyariatkan oleh agama Islam. Atau kamu juga bisa langsung melakukan nazhor sebagaimana dalam hadits dan oleh para sahabat Nabi lakukan.

Sekarang saatnya bagi kamu untuk menentukan pilihan terbaik bagaimana cara yang baik dan tepat (benar) untuk proses kamu dalam mendapatkan pasangan hidup di kehidupan kamu di dunia ini.

Wallahu a'lam bish-shawabi (dan Allah yang Maha Mengetahui yang sebenarnya).

Demikianlah postingan tentang Proses Taaruf Dalam Islam. Mohon maaf apabila ada salah-salah dalam hal penulisan atau apapun yang terdapat pada postingan ini ya sob! Semoga bermanfaat.

Comments